“Mengapa harapan diciptakan Tuhan?”
“Mengapa harus hidup dengan harapan?”
“Mengapa harapan selalu tak sesuai dengan kenyataan?”
“Mengapa …”
Dan seribu mengapa lainnya…
“Bangun!”, katanya.
“akan kutunjukkan jawabannya.”
Tidak perlu dijelaskan lagi rupanya. Aku pun bergegas berpakaian.
“Lihat ke sebelah sana”, tunjuk Mikail.
Ke arah yang ditunjuk Mikail, beberapa meter saja dari tempat kami, berdiri setengah ringkih seorang pria baya. Bajunya sederhana dan rapi. Wajahnya pun bersih dan klimis. Bapak Tua itu memanggul tas sandang warna cokelat lusuh berukuran sedang. Dari dalam tas itu tersembul seikat mawar merah cerah. Warnanya benar-benar menyegarkan suasana pagi.
“Ayo, kita ikut naik”, sahut Mikail.
“Sabarlah”, senyum Mikail penuh misteri.
“Apa-apaan ini?”, pikiranku mulai kacau.
Bapak Tua itu diam tak berapa lama, lantas masuk ke dalam.
Sekonyong-konyong, Mikail pun mendorong punggungku setengah memaksa.
“Ziarah juga, nak?”, tegurnya ramah.
Aku mengangguk saja.
“Eeeeee… ini istri bapak?”, tanyaku. Ragu-ragu.
Butuh sebentar, baru dia menjawab sambil menghela nafas. “Bukan”,
“istriku sudah lama lari dengan pria lain”.
Aku terdiam. Masih belum mengerti semuanya.
Bapak Tua itu tidak melihat kebingunganku. Penuh perhatian ia letakkan seikat mawar merah yang sedari tadi dibawanya. Ditaruhnya tepat di bagian kepala dari kuburan itu.
“dia meninggal saat dilahirkan.”, sahut Bapak Tua dengan nada tertahan.
Kembali aku terdiam. Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Pikiranku berputar-putar dan pelan-pelan berpusat pada sesuatu. Sesuatu yang kurasa adalah jawaban dari pertanyaanku tadi pagi.
“Kau sudah tahu maksudku bukan?”
Aku mengangguk. Hanyut dalam diam. Pagi beranjak hiruk-pikuk tapi aku tenggelam dalam kesunyian.
0 komentar:
Posting Komentar